Saturday, January 28, 2017

Suka Duka Jadi Residen, Dokter yang Sekolah Lagi

Tulisan ini sebenarnya sudah lama ingin dibuat tetapi (again) karena mengalami beberapa hambatan, tulisan ini baru bisa muncul sekarang. Kenapa sekarang? well, jujur saat menulis ini kondisi fisik lagi ada di titik drop, minum obat, bolak balik cek suhu badan sendiri, dan juga mencuri sedikit tidur sampai akhirnya menulis kembali (blog ini). So, maafkan jika tulisan ini terkesan mellow.

Saya coba tuk flashback ketika saya masih berada di luar Jawa dan mimpi untuk sekolah lagi itu muncul karena ada LPDP yang memfasilitasi dan kebetulan menjadi angkatan pertama dokter spesialis LPDP. Dan tidak terasa sudah hampir dua tahun (separuh jalan) menjalani dunia residensi ini. Suka duka pasti banyak. dan foto ketika saya masih di dunia lain ini seakan menyadarkan langkah kaki kita sedikit lagi sampai di finish line. Ini berguna sekali sebagai booster karena di luar sana masih banyak yang "rebutan" ingin berada di posisi kami residen tetapi belum berjodoh.


Resolusi LPDP yang terwujud, masuk PPDS Anak pada Juli 2015



Para dokter residen LPDP Angkatan Pertama di PK21. Semuanya saya tahu sedang mengejar mimpi, menyelesaikan apa yang pernah kita mulai sampai titik darah penghabisan (#heroik)


Just Resident  
Di luar dunia residensi, mungkin orang awam memandang kami menjalani kehidupan yang nantinya akan jadi "enak" karena katanya setelah menjadi spesialis akan jauh lebih baik dibanding dokter biasa. Sayangnya itu semua tidak benar. Menjalani dunia residensi dibutuhkan bukan saja fisik, materi melainkan jiwa. Iyak, yang terakhir menurut saya yang paling penting.

1. Menjadi residen membutuhkan jiwa untuk ikhlas menerima. Sederhana tetapi penting. Karena pastinya akan ada banyak yang dikorbankan. Terkadang hal-hal kecil yang tidak terasa itu baru kita sadari keberadaannya ketika kita sedang dalam perenungan. Kemana saja saya selama ini, tahu-tahu yang sudah punya anak, anaknya tumbuh besar, atau tahu-tahu orang tua terlihat semakin menua, saudara saudari mungkin sudah menikah sampai punya anak. Atau perkembangan dunia di luar residensi yang terkadang baru nggeh ketika pasien berbagi cerita.


2. Menjadi residen membutuhkan jiwa untuk berbagi. Kita para residen apalagi di rumah sakit besar adalah pintu utama para pasien yang jauh-jauh dirujuk dari berbagai lokasi bahkan beda pulau hanya untuk mencari pengobatan di tempat yang lebih lengkap fasilitasnya. Tidak jarang yang merujuk dari tempat lain adalah para spesialis yang sudah lebih dulu lulus dibanding kami para residen. Pasien yang jumlahnya banyak mungkin belum berbanding lurus dengan jumlah kami para residen, untuk itulah kami mohon maaf jika pelayanan kami baik ketika di bangsal atau poli terkesan lama. Terkadang miris memang, pasien-pasien yang kontrol dari jauh membutuhkan waktu sejak subuh dari lokasi mereka, lalu antri panjang di pendaftaran, antri ketika cek laboratorium atau cek radiologi (rontgen, usg, dll) dan bertemu kita hanya sebentar, lalu kembali antri di bagian obat. Beruntung jika mereka terkover BPJS atau jamkesda atau asuransi lain. Jika tidak, kami para dokter pun ikut berpikir dengan bijak bagaimana baiknya. Bagaimanapun jika sudah sampai di rumah sakit rujukan, menurut saya pembayarannya akan tetap saja jatuhnya mahal. 

Oleh karenanya, maafkan kami juga jika setiap jaga IGD dan mendapatkan telpon pesanan rujukan dari rumah sakit lain, tidak lupa kami menanyakan terkait pembiayaan pasien. Kasian mereka, apalagi jika ternyata kondisi pasien membutuhkan perawatan intensif (NICU/PICU) yang harganya jauh lebih mahal.  Tidak hanya asal merujuk pasien tanpa mempertimbangkan aspek sosial karena tidak jarang setelah sampai di tempat kami, pasien belum diedukasi terkait hal tersebut.  Misalnya saja pasien bayi baru lahir, atau anak < 1 tahun yang belum punya akte atau bahkan kedua orang tua belum menikah resmi dan lain-lain yang berhubungan dengan sosial dan kenyataannya mereka tidak mampu. Boleh saja setelahnya bayi atau anak mereka membaik tetapi gali lubang tutup lubang entah dari mana yang mereka lakukan untuk membayar semua itu secara umum.

3. Menjadi residen membutuhkan kecepatan menulis ekstraTugas residen pun bukan hal mudah, ada banyak urusan administrasi yang harus kami lengkapi demi pasien. Berbagai kertas-kertas wajib kami tulis bahkan terkadang boleh jadi waktu yang harus digunakan untuk melengkapi surat-surat di atas lebih banyak agar pasien-pasien bisa mendapatkan obat atau mendapatkan pemeriksaan laboratorium atau radiologi tertentu yang lebih khusus. Atau bahkan surat yang "terlihat" sederhana tetapi surat itu dapat membuat pasien lebih mudah ketika mengurus surat rujukan dari fasilitas kesehatan lain. Apapun, bagi kami selagi itu dapat meringankan beban para pasien, akan kami buatkan. Tidak hanya itu saja, kami pun harus memastikan sampai obat-obat yang dibutuhkan pasien "BENAR-BENAR" didapatkan oleh pasien.  Menjelaskan beragam administrasi pun harus lihai kami lakukan bahkan memotivasi pasien untuk care dari yang belum punya asuransi menjadi punya asuransi kesehatan. Bukan hal mudah, rasanya 24 jam tidak pernah cukup untuk melakukan itu semua. Jalur yang sangat panjang untuk satu pasien terlayani dengan baik dan benar.


Di balik semua itulah ada kami para residen yang mungkin jika dinilai apalah kami "butiran debu", kami bukan tenaga yang digaji bahkan tetapi tugas kami memastikan semua pasien aman mungkin lebih dibanding lainnya. Kami lakukan semua yang kami mampu demi pasien. Menganggap jika pasien itu anak atau saudara kami, maka kami ingin dia diperlakukan sebaik mungkin, mendapatkan kepastian obat benar-benar masuk, pemeriksaan penunjang benar-benar dilakukan karena untuk itulah mereka para pasien dikirim ke kami. Jika sudah selesai, barulah kami kembali untuk keluarga kami atau sekadar untuk bisa "tidur". Akhirnya saya menyadari jika nilai sebuah tidur terkadang menjadi hal terpenting yang kami butuhkan di atas segalanya setelah selesai kewajiban kami terhadap pasien. Tidak perlu bicara jam kerja karena mungkin itu untuk para tenaga yang digaji. Berapa jam dalam seminggu, sebulan bahkan setahun pastinya kami tidak tahu karena di atas jam normal pekerja. Jam kerja kami tidak pasti, 24 jam HP kami tidak boleh mati walaupun sudah tidak berada di rumah sakit sekalipun, dan jangan jatuh sakit saat menjalani itu. Berangkat sebelum matahari terbit dan pulang ketika matahari tenggelam atau malah pulang keesokan malamnya karena jadwal jaga dan hadir kembali di rumah sakit saat subuh bukan hal aneh lagi.


Bagi yang sudah punya keluarga, sampai rumah anak sudah tidur dan ketika meninggalkan anak di pagi hari, anak belum bangun. Hanya bisa memberikan ciuman kasih sayang sembari terus berdoa semoga diberi kekuatan menjalani hari demi hari pendidikan residensi. Bukan hal yang "sehat" sebenarnya. Kami meninggalkan anak-anak kami untuk menolong anak-anak orang lain. Bahkan terkadang kami tidak dapat menyelamatkan anak kami sendiri. Kami memeriksa tumbuh kembang anak orang lain, tapi mungkin kami lupa memeriksakan anak kami sendiri sampai mungkin kami sadar ada yang berjalan tidak normal pada anak kami. Kami bisa mencarikan pasien atau anak orang lain obat ketika mereka kejang dengan berlarian tapi mungkin kami tidak bisa melakukan hal itu sendiri ketika anak kami yang kejang karena kami tidak disana, tidak berada di samping mereka. Kami bisa menganjurkan para ibu hamil menjaga bayinya agar lahir normal dan sehat tapi mungkin kami para residen yang sedang hamil tidak dapat melakukan itu pada bayi-bayi kami, kami masih bersentuhan dengan pasien-pasien infeksius yang tanpa sadar mungkin membahayakan bayi kami. Kami bisa melakukan apapun untuk yang terbaik ketika pasien sakit tapi kadang kami lupa ketika kami sakit, kami tetap harus ada untuk mereka. 
Kami mungkin menjadi anak-anak yang tidak bisa menujukkan bakti kami ke keluarga ketika kami menjalani dunia residensi ini. Kami mungkin tidak punya banyak waktu bersama seperti sebelum kami belajar. Mungkin juga kami tidak dapat menemani saat-saat genting orang tua kami, kami dapat menyelamatkan orang tua serangan jantung atau stroke tapi mungkin kami tidak bisa hadir dengan cepat di saat itu terjadi pada orang-orang yang kami cintai . Untuk itu, kami minta maaf karena banyak hal yang mungkin berubah dari kami karena berada di dunia residensi. Kami juga minta maaf mungkin kami tidak langsung menjadi anak durhaka, mantu atau mertua yang terlihat tidak becus. Bagaimanapun keluarga adalah tempat kami kembali, tempat yang selalu menguatkan kami karena untuk keluargalah kami menjalani semua ini.


Keluarga di Residensi

Tidak semua dari kami berada dekat secara fisik dengan keluarga, boleh jadi keluarga para residen berada puluhan kilometer dari tempat kami sekolah yang mungkin terhubung secara komunikasi hanya dari dunia paket data saja. Untuk itulah penting dalam sebuah residensi ada keluarga baru. Yah, kami sesama residen menjadi keluarga. Kami saling menjaga satu sama lain, memastikan rekan-rekan di samping kanan kiri kami itu sehat baik secara fisik maupun jiwa. Karena memang hanya itu yang kami punya saat ini, keluarga baru di residensi. Biasanya ikatan kekeluargaan itu akan kental dalam satu angkatan masuk yang sama lalu seiring berjalan waktu akan membaurlah kami dengan rekan-rekan lain di atas maupun di bawah semester kami. Mengapa hal itu perlu? karena apapun bisa terjadi selama/durante kita sekolah mulai dari kecelakaan ringan hingga berat atau sakit parah lainnya. Untuk itulah kami membutuhkan keluarga kami sesama residen supaya kami bisa terus bertahan dan menjadi normal dengan jalan-jalan, nonton, baca buku non kedokteran, atau pun sekadar nulis blog sampai bikin video. Karena pada dasarnya kami sebelum menjadi residen adalah kami-kami yang saya yakin mempunyai talent-talent khusus atau bahkan superb baik di bidang non seni maupun seni. Hanya saja mungkin hal itu tidak akan dilakukan sebebas jika bukan residen. Foto di bawah salah satu keajaiban berkat adanya keluarga di residensi.

Mas Nanta, ketua angkatan saya kebetulan bisa berfoto bersama keluarga besarnya kembali setelah survive dari kecelakaan. Kami masih ingat semuanya, tepat setahun yang lalu, tidak ada yang menyangka pasien-pasien yang biasanya kami tangani di ruang "resusitasi" IGD kali itu harus salah satu dari kami. Hari dimana air mata terus berlinang ketika satu sama lain dari kami bertemu, saling berpelukan menguatkan bahwa Mas Nanta bisa selamat. Dan Tuhan sangat baik, beliau hadirkan kembali sosok ini di dunia residensi kami setelah serangkaian operasi dan pemulihan. Welcome back Mas (Peluk sungkem untuk tante om juga istri tercinta. Terima kasih telah ada bersama kami semua dan menguatkan Mas Nanta). Kami tahu bukan hal mudah melewati semua itu tapi ternyata kami mampu melalui ujian ini.


Keluarga besar Mas Nanta berkumpul kembali, senang rasanya


Mural terbesar yang pernah saya buat saat Mas Nanta masih dalam perawatan.


Saat ini mural itu tertempel di kamarnya dan bisa terus kami baca. Terima kasih untuk dukungan semuanya dari sesama residen, konsulan, perawat sampai tim admin. Tulisan-tulisan di mural itu masih bisa bikin degdegsir dan semua yang tertulis disana menjadi kenyataan, doa untuk Mas Nanta kembali dan sehat selalu. Sungguh kekuatan doa itu adalah tempat kita kembali setelah semua medis dilakukan. Hanya kepadaMulah kami semua pasti akan kembali.

Nah, nantinya keluarga inilah yang akan menemani keseharian kita dengan segala keunikannya. Kejutan-kejutan kecil sekadar bisa merayakan hari lahir mereka menjadi hal besar di sela-sela pelayanan kami untuk pasien. Kami menggantikan pelukan keluarga biologis mereka yang terpisah jarak puluhan kilometer ketika mereka berulang tahun. Satu persatu pun dipertemukan dengan jodoh dan menikah durante residensi. Seru kan. 
Grebeg ultah Jeng Iren yang lagi di PICU (Okt 2016) 

Tidak ada lilin-lilin kecil Chrisye, lilin besar pun jadi 

Ultah Jeng Prita (Agustus 2015) saat masih zaman orientasi (pin merah)

Ultah Jeng Prita lagi (Agustus 2016) tak terasa waktu cepat berlalu (pin kuning)


Kado ultah untuk Mba Eny kakak kami, peluk cium selalu untuk Mba Eny

Keluarga Baru Tiap Semester
Setiap angkatan baru masuk, kami bahagia. Artinya akan ada keluarga baru. Biasanya kebanyakan dari mereka yang masuk (hampir semua) pernah nyasar ke blog saya ini. Selamat, semoga tidak tersesat ^_^

Selamat bergabung bersama kami keluarga besar residensi dan semoga akan saling menguatkan satu sama lain, saling menjaga satu sama lain dan tentunya menuju sukses bersama-sama karena ketika nanti lulus kita juga akan terlink bersama-sama kembali. So, mari kita lakukan semuanya dengan baik demi pasien. Tentunya lelah fisik pasti akan terasa lebih ketika baru pertama kali masuk, oleh karenanya pastikan diri tetap sehat dan sebaiknya tidak sakit. Selamat telah melewati jalan panjang sampai akhirnya berda di ruangan ini semua, meninggalkan segala hal "nyaman" dari tempat-tempat sebelumnya untuk mulai dari NOL belajar lagi. Uniknya residensi ini, siapapun kita di masa lalu, kita mulai semuanya dari awal ketika kita berada di sini,melepaskan semua atribut masa lalu demi masa depan (#bzzzttt berat sekali quote ini).


Bersama angkatan Jan 2017 (jadi begini cara welfie terbaru yak #maksaWkwkw)

Bersama angkatan Juli 2016 (ini cara foto yang ideal)

Bersama angkatan Januari 2016 akhirnya ngumpul lengkap kembali saat pelatihan PALS

Lebih Sekadar "Just Resident"
Nah, kisah di atas memang bagian dari yang tidak dapat dihindarkan ketika kita memutuskan untuk sekolah lagi. Di luar itu, kita bisa melakukan banyak hal sebenarnya secara tidak langsung demi pasien kita. Salah satunya memperdalam ilmu melalui kegiatan ilmiah. Atau kegiatan yang have fun alais olahraga.


Salah satu kegiatan tahunan memperingati hari kesehatan nasional

Grup paduan suara yang selalu eksis, tempat residen menyalurkan suara bagusnya


Kalau yang satu ini tempat residen menyalurkan hobi digitalnya

Nah, mari bergabung bersama kami. Suka duka pasti ada, tapi suatu kepuasan bagi kami dapat menyehatkan kembali anak-anak sakit dimana para orang tua menitipkan anak-anak mereka pada kami.

Sementara anak-anak dan keluarga kami, kami titipkan selalu dalam doa kepada Yang Kuasa supaya sehat selalu karena kami yakin Dia akan ikut menjaga dengan cara-cara indah yang kami tidak ketahui. 
Bagaimanapun, kita semua masih dibutuhkan, keberadaan dan perjuangan kita sebagai residen ditunggu oleh pasien-pasien di pelosok sana yang sangat kekurangan tenaga spesialis. Walau perjuangan menjadi spesialis bukan hal mudah dari sejak babak seleksi sampai babak akhir ujian nasional spesialisasi. Insyallah asalkan mencintai jurusan residensi yang diambil, bisa survive kok. Mari kuatkan tekad dan minta doa orang tua agar dijodohkan dengan residensi sesuai passion karena dunia residensi terlalu melalahkan jika tidak dijalani dengan passion.


Mari sekolah lagi, apapun jurusan spesialisasinya. 


Salam hangat dan penuh semangat
Avis

No comments:

Post a Comment

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...