Friday, September 18, 2015

Mengenal Malaria di Papua Lebih Dekat

“Mama…Obat lironggo nanu”
“Kagalu kelak lirogon wagapuul”
13983988261632334723
Samar tapi pasti kalimat tersebut terdengar ketika saya menginjakkan kaki bersama tim Posyandu di tanah  Papua. Para tenaga kesehatan yang bercengkrama langsung dengan para ibu hamil seringkali mengulang kalimat di atas.


Kalimat pertama artinya meminta mama untuk meminum obat dengan baik dan benar sedangkan kalimat kedua meminta ibu memberikan ASI kepada bayinya dengan benar. Bahasa di atas pun juga satu dari berbagai bahasa beragam suku yang ada di Papua. Yup, hanya dengan tinggal dan turun ke lapangan di beragam posyandu saya bisa mengenal lebih dari 10 bahasa lokal yang sungguh berbeda satu suku dengan lainnya. Saya yang awalnya sudah berniat belajar bahasa asli Papua pun memilih untuk menyerah sebelum berusaha lebih jauh. Pasalnya, terkadang ketegangan antar suku yang memicu perang membuat mereka menciptakan berbagai bahasa sandi yang hanya diketahui oleh kelompok tertentu dan bahasa itu pun berkembang menjadi khusus.
Mari Mengenal Malaria Lebih Dekat
Siapa bilang malaria penyakit baru seperti HIV/AIDS atau kanker. Malaria sudah ada sejak ribuan tahun sebelum masehi (diperkirakan 2700 BC) ketika pengobatan Cina berdiskusi gejala pembesaran lien. Hanya saja, malariologist pertama diperkirakan adalah Hippocrates (400 BC) yang juga menjadi Bapak Kedokteran (karena terkenal dengan Sumpah Hippocrates). Bahkan beberapa pahlawan terkenal masa lalu seperti Alexander the Great, juga Alaric , dan Genghis Khan diduga meninggal karena gejala yang mirip malaria.
Malaria sendiri berasal dari bahasa Italian “aria cattiva” yang berarti udara kotor kemudian disebut “Mal-aria”.  Penyakit yang terdengar menyeramkan ini hanya disebabkan karena “gigitan” nyamuk kecil saja. Jika di tanah Jawa terkenal dengan nyamuk Aedes aegepty penyebab Demam Berdarah, maka di Indonesia Timur lain lagi. Nyamuk jenis anopheles lah yang menjadi penular malaria dan di Indonesia ada lebih dari 80 spesies nyamuk Anopheles. Namun tenang saja karena saat ini hanya 24 spesies Anopheles yang dapat menularkan penyakit malaria. Berbeda memang dengan nyamuk demam berdarah yang memangsa korbannya di kala pagi (jam 9an) dan sore (jam 4an), nyamuk malaria mulai keluar sejak magrib hingga malam dan menggigit di saat orang tidur.
Memang siklus hidupnya begitu dan beruntung hanya nyamuk perempuan saja yang menggigit.  Saya tidak dapat membayangkan jika si jantan juga dapat menularkan, bisa lebih banyak korban nantinya. Berapa banyak lagi ibu terutama yang hamil menjadi korban.
Gejala Klinis Malaria
Sejak pertama kali menggigit hingga menimbulkan gejala klinis dapat berlangsung hanya kurang dari 2 minggu, tergantung imunitas seseorang.  Parasit malaria bernama Plasmodium masuk melalui air liur nyamuk yang ikut serta ketika nyamuk menggigit mangsanya.  Parasit ini nantinya akan bersarang ke hati hingga akhirnya masuk ke sel darah merah.  Ketika sel darah merah terinfeksi maka artinya seluruh aliran darah kita mengandung parasit ini. Biasanya  ketika sel darah merah yang terinfeksi ini menyebar maka pasien akan mengalami gejala demam hingga menggigil. Namun, tentu saja gejala tersebut seringkali sulit dideteksi pada pasien yang tinggal di daerah endemik seperti Papua.
Imunitas yang terbentuk pada orang yang sudah lama berada di daerah Papua (termasuk para pendatang) akan menampilkan gejala berbeda bahkan beberapa ditemukan tanpa ada gejala sama sekali. Jadi waspadalah jika bertemu pasien mengeluh sakit kepala berat, atau nyeri otot bahkan kelelahan yang tidak hilang ketika sudah istirahat atau minum obat lain. Boleh jadi itu adalah gejala malaria.
Diagnosis Malaria
Penentuan malaria wajib menggunakan alat bantu mikroskop untuk melihat ada tidaknya parasit di dalam apusan darah pasien. Katakanlah hanya ada 500 parasit dalam satu lapang pandang mikroskop, boleh jadi artinya ada 5 milyar parasit dalam seluruh darah si korban. Jumlah yang cukup untuk membunuh manusia.
Saat ini sudah dikembangkan alat pemeriksaan yang lebih ringkas dan disebut RDT (Rapid Diagnostic Test). Hamper mirip seperti alat tes kehamilan, hanya saja bedanya malaria dilihat dari darah bukan dari urin pasien. Hanya butuh sedikit sekali tetesan darah yang dicampur dengan reagen tertentu untuk dibaca di alat RDT ini.
Namun, bagiamanapun pemeriksaan mikroskopis tetap menjadi Gold Standar malaria karena terkadang jumlah parasit yang masih sedikit di dalam darah sulit terdeteksi positif di RDT. Sebaliknya, pasien malaria yang sudah minum obat bisa jadi masih menunjukkan tanda RDT positif lantaran parasit malaria yang terbunuh menjadi framen yang masih terbaca positif di alat RDT. Oleh karenanya, dokter harus selalu waspada danmembandingkan dengan gejala klinis yang ada.
Pengobatan Malaria
Sebenarnya tidak sulit untuk mengobati malaria jika ditemukan dalam kondisi yang tidak terlambat. Kalaupun pasien sudah resisten dengan jenis obat tertentu, di dunia ini masih banyak peneliti khusus yang mengembangkan obat malaria. Saya berani jamin untuk obat akan selalu ada dan bisa asal kuat membayar saja. Nah, saat ini yang digunakan di Indonesia adalah ACT (Artemisisn based Combination Therapy) atau di Papua lebih dikenal sebagai obat biru karena kebetulan tabletnya berwarna biru.
Sayangnya, tidak semua orang menyadari gejala sakitnya sebagai gejala malaria. Tidak jarang banyak korban jatuh sia-sia hanya karena iseng “wisata” ke daerah endemik dan jatuh sakit ketika pulang ke Jawa. Saya merasakan betapa sulitnya mencari obat malaria di Jakarta sekalipun. Bahkan pernah ada pastor yang meninggal di Bandung lantaran malaria dan baru ketahuan ketika sudah komplikasi hingga gagal ginjal. Rekan sejawat saya pun di Sumba ada yang meninggal karena malaria dan terlambat diketahui, padahal sehari-harinya dia mengobati pasien malaria. Menyedihkan bukan, karena memang terkadang bisa tanpa gejala.
Pencegahan Malaria
Nah, ini yang sedikit tricky karena pencegahan malaria mudah diucapkan namun sulit dilakukan. Bahkan oleh para peneliti caliber dunia sekalipun. Pencegahannya jelas dengan melindungi diri supaya tidak terkena gigitan jika kita berada di daerah endemik. Bisa menggunakan lotion, kelambu, atau minum obat pencegahan.
Nah, di Papua ini sudah diwajibkan kelambu untuk para ibu hamil sebenarnya namun tidak semudah membalikkan telapak tangan. Tidur di bawah kelambu di musim kemarau bukan hal mudah  karena panas. Bahkan yang sering terjadi adalah ketika para ibu pulang dari ladang atau laut ketika sore hari, mereka tetap rawan terkena gigitan nyamuk malaria ini. Dan memang ibu yang sedang hamil akan lebih mudah terserang. Penting untuk memberikan edukasi lebih kepada ibu.
Mengapa Ibu?
Ibu memiliki peranan sangat besar dalam keluarga apalagi di Indonesia bagian timur termasuk Papua dimana ternyata para ibu mempunyai tanggung jawab besar menjadi tulang punggung keluarga. Mereka harus sudah bangun di pagi buta untuk menyiapkan makanan dan melanjutkan aktivitas dengan bekerja di ladang. Tidak jarang mereka membawa serta anaknya walaupun masih balita sekalipun alasanya tentu saja karena di rumah tidak ada yang menjaga. Biasanya para ibu akan memasukkan anak yang usianya kurang dari setahun ke dalam noken, sejenis tas khusus terbuat dari benang yang dirajut dan khas Papua.  Noken ini biasanya digunakan untuk menampung dan membawa berbagai macam barang termasuk bayi kemudian para ibu akan mengkaitkan noken di atas kepala dan membawa bebannya dengan menggunakan kepala. Dengan demikian kedua tangannya yang bebas masih dapat melakuan beragam pekerjaan. Terkadang tidak jarang kita akan melihat pemandangan dimana ibu menggendong bayinya di dalam noken sementara kedua tangannya mengandeng anak yang usianya terlihat mirip.  Parahnya, boleh jadi perut ibu terlihat membesar karena mengadung bayi juga. Setibanya di rumah ketika sore, para ibu masih akan melanjutkan rajutan noken atau tenunan, tergantung dari keahlian tapi hampir sebagian besar wanita papua mempunyai keahlian tersebut.
13983986491678479980
Mama menggendong anaknya di dalam noken (dok pribadi)
Beban kerja ibu yang begitu berat membuat ibu menjadi salah satu kelompok dengan kesehatan rentan. Apalagi jika ibu dalam kondisi hamil, tentu saja tinggal di daerah endemis semalaria seperti Papua membuat kesehatannya menjadi semakin rentan.  Penelitian lebih detail diarahkan untuk melihat ibu hamil dengan malaria dalam kurun waktu April 2004 hingga desember 2006 di RSMM Timika. Sebayak 3.046 data ibu hamil diteliti dan didapatkan ternyata ibu yang mengalami malaria ketika melahirkan 16,8% (432 ari 2.570 ibu dengan malaria) dimana 35,2% (152 dari 432 ibu hamil) didahului gejala panas dengan suhu tubuh lebih dari 37,5 derajat. Data lengkap menunjukkan 57,9% terinfeksi falciparum, 33,8% vivax, 8,3% campuran.
Ketika ibu hamil ketahuan malaria maka pengobatan yang efektif harus segera diberikan agar malaria tidak memberikan dampak buruk bagi bayi yang dikandung karena bagaimanapun plasmodium ini masih dapat menembus ari-ari ibu dan ditularkan ke bayinya. Akibatnya, bayi dapat lahir sebelum waktunya  atau kita kenal sebagai premature, lahir dengan berat badan kurang dari 2 kilogram, atau lahir dengan anemia (hemoglobin darah kurang). Nah….bagaimana dengan malaria pada bayinya, saya akan kisahkan kemudian yak (bersambung).
Salam Papua Bebas Malaria
dr.Hafiidhaturrahmah
yang pernah tugas meneliti malaria di Papua
berbagai foto pengabdian di Papua  dapat dilihat disini

Let save them (dok pribadi)

1 comment:

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...