Kisah ini saya tuliskan ketika masih mengabdi di pedalaman Papua dan ketika mendapatkan sinyal mendadak saya terkoneksi kembali dengan rekan sejawat yang mengabdikan diri di salah satu RSUD di pinggiran kota besar. Masih berada di Jawa, tentunya tidak ada masalah begitu pikir saya ketika dia menelpon. Namun ternyata perkiraan saya salah. Justru tantangan untuk dokter di Jawa lebih terasa berat karena harus menghadapi pasien dengan beragam rentang pendidikan yang artinya, butuh kesabaran ekstra.
Friday, July 31, 2015
Bersabar ketika Mendapat Pasien Emosional
Kisah ini saya tuliskan ketika masih mengabdi di pedalaman Papua dan ketika mendapatkan sinyal mendadak saya terkoneksi kembali dengan rekan sejawat yang mengabdikan diri di salah satu RSUD di pinggiran kota besar. Masih berada di Jawa, tentunya tidak ada masalah begitu pikir saya ketika dia menelpon. Namun ternyata perkiraan saya salah. Justru tantangan untuk dokter di Jawa lebih terasa berat karena harus menghadapi pasien dengan beragam rentang pendidikan yang artinya, butuh kesabaran ekstra.
Thursday, July 30, 2015
Kalau LPDP Haram, Berobat ke Dokter Spesialis Haram Juga Gak Ya
Tulisan ini dibuat bukan untuk mengkounter tulisan yang sebelumnya mengatakan LPDP beasiswa yang haram. Sungguh saya tidak punya kompetensi apapun dalam menentukan haram halalnya suatu hal. Saya bukan lembaga yang dapat menjudge sesuatu dan tentu saja karena kemampuan agama saya masih sangat dangkal. Begitu juga dengan penulis keharaman yang telah menyatakan tulisannya disclaimer untuk diri sendiri dan keluarga kecilnya saja. Dia pun hanya ingin sekadar menyuarakan isi hatinya walau sebenarnya sudah banyak tulisan senada yang muncul di dunia maya. Anggap saja kali ini saya punya banyak waktu untuk menulis. Alasan saya pun sederhana, saya ingin sekolah.
Bu Sutinah, Pejuang Kanker yang Tangguh dari Bromo
-
Saat menuliskan ini, Bu Sutinah sudah berpulang ke Rahmatullah dengan damai. Kisah perjuangannya terus saya ingat, oleh karenanya tulisan ini saya posting ulang.
Bu Sutinah, perempuan luar biasa yang sekarang menjadi orang tua tunggal lantaran suaminya meninggal tiga tahun lalu ini tanpa malu menceritakan kisahnya pada saya. Walau hanya berbekal pekerjaan sederhana sebagai penjual makanan di pasar desa lain yang jaraknya sejam dari tempat beliau tinggal, tidak tersirat gurat keluh sedikitpun di wajahnya. Bahkan Bu Sutinah terkadang tetap memaksakan diri bekerja demi sesuap nasi apalagi ketika anak lakinya mengikuti Ujian Akhir Nasional (UAN) bulan lalu. Berbeda memang dengan beberapa pasien kanker yang pernah saya temui dan bergelimang kesedihan, Bu Sutinah terlihat lebih tegar. Bukan karena masalah kankernya sudah usai namun lebih disebabkan karena beliau tidak ingin orang-orang di sekitarnya ikut bersedih. "Ya sebenarnya sedih tapi kalau sayanya sedih terus nanti kasian anak-anak tambah kepikiran" begitu ujarnya.
Wednesday, July 29, 2015
Muslihun Anak Penjual Kelapa Raih LPDP
-
Namanya Muslihun, saya pertama kali mengenalnya dari tulisan di web ini dan menuliskannya di sini. Jujur pertama kali membacanya saya langsung menarik napas panjang. Ternyata masih ada yang perjuangannya untuk kuliah jauh lebih hebat lagi dan kisah itu masih ada bahkan banyak di era bangsa yang konon sudah merdeka. Setelahnya, karena sama-sama menjadi penerima beasiswa dari LPDP (Lembaga Pengelola Dana Pendidikan) maka Muslihun sudah seperti adik saja. Dia tipe yang mudah akrab dan menyenangkan untuk berdiskusi. Saya yakin setelah membaca kisahnya, kita semua akan setuju jika Muslihun nanti akan menjadi Ahli Fisika yang dimiliki Indonesia.
Rahasia di Balik Keuntungan Jutaan Mak Jum, Penjual "Kupang Pasuruan"
-
Hmmm....kali ini saya akan mengulas salah satu makanan khas daerah Pasuruan. Tepat sebelum akhirnya saya meninggalkan Pasuruan, saya berkenalan dengan Mak Jum. Penjual "kupang" terlaris ini membagikan resep suksesnya walau warung kecilnya nyaris tidak terlihat jika anda memasuki kota Pasuruan. Berawal dari Modal Kecil Yap...mungkin kebanyakan anda tidak tahu apa sebenarnya "kupang" karena jujur saya pun baru tahu jika ikan kecil yang sering ditemukan di lautan ini dinamakan kupang. Berawal dari modal kecil berupa kupang yang diambilnya dari para nelayan di pesisir Lekok-Pasuruan, Mak Jum menerapkan resep kupang. Kalau sepenglihatan saya, kupang ini sejenis ebi tapi yang belum diawetkan.
Kok Masih Banyak yang Mau Jadi Dokter, Heran Saya!
-
Bailah untuk memulai, tulisan ini kali pertama terbit di sini dan dibaca hampir 5 ribu orang. Tepat 27 Juli 2013 alias hampir dua tahun lalu saya menuliskannya sewaktu masih bekerja di pedalaman Bromo. Kenapa kali ini saya tulis ulang, karena fenomenanya dari tahun ke tahun makin sama. Masih banyak lulusan SMA yang ngebet kepengen banget jadi dokter.
Tuesday, July 28, 2015
Waspada Anak Anda Kena Hipnotis
Yap...hipnotis memang sedang marak menjadi bagian dari beragam penipuan di negeri kita jadi tidak ada salahnya kita berhati-hati terhadap kata yang satu ini. Namun, kali ini saya sedang tidak membicarakan hal negatif dari hipnotis. Ada sisi lain dari hipnosis yang ternyata berguna.
Pak Fauzi, begitulah saya mengenal sosok guru SMP Negeri Tosari ini ketika pertama kali bersilaturahmi ke berbagai sekolah di lereng Bromo. Awalnya Pak Fauzi terlihat sama seperti kebanyakan pengajar, berwibawa dan dekat dengan siswa. Tentu saja hal itu penting, apalagi untuk menjadi guru di pegunungan seperti Bromo. Namun, saya tidak dapat mengatupkan mulut ketika tahu bahwa Pak Fauzi mempunyai keahlian unik lainnya. Yah...Pak Fauzi ini mempelajari hipnotis secara otodidak tanpa pelatihan bersama para master hipnosis yang banyak kita lihat di TV.
Berawal dari November 2012, Pak Fauzi menjadi sosok yang mulai akrab dengan kami di Pencerah Nusantara. Pasalnya, Pak Fauzi banyak membantu kami Tim Pencerah Nusantara, terutama dalam kegiatan imunisasi yang dimulai dengan vaksinasi difteri dari bulan November. Pasalnya, difteri ini kembali menjadi penyakit menyeramkan yang mewabah se Jawa Timur. Beruntung Tosari tidak ditemukan difteri, penyakit yang gejala awalnya hanya batuk pilek dan radang tenggorokan saja namun jika ada satu saja yang terkena maka penularannya hanya dalam hitungan hari. Nah, untuk mencegah maraknya difteri inilah maka PIN (Pekan Imunisasi Nasional) di bulan November 2012 lalu menyuntikan difteri ke seluruh anak termasuk di dalamnya siswa SMP.
Perjalanan menuju SMP Tosari bersama Fairuziana, Psikolog
Monday, July 27, 2015
Geli-geli Empuk Kondom Papua ini Wanita Bikin Ketagihan
Tuk sebagian orang mungkin lebih sering mendengar kondom identik dengan laki-laki dan juga sarungnya "si burung" namun boleh jadi istilah kondom sekarang meluas semenjak ditemukannya kondom wanita. Nah untuk mensosialisasikan kondom wanita, ternyata hampir semua puskesmas di Kabupaten Mimika memanfaatkan momentum berkumpul saat posyandu loh. Ini salah satu kegiatan rutin dari Pokja HIV/AIDS karena kondom merupakan salah satu penangkal penting penyebaran virus HIV/AIDS ini.
Bagaimana serunya...mari berkenalan lebih dekat dengan kondom wanita dulu. Kali ini penyuluhan dilakukan oleh rekan-rekan Puskemas Limau Asri di Posyandu. Beragam peralatan pun mereka keluarkan termasuk salah satunya penis buatan. Kini tidak lagi seperti zaman lima tahun lalu dimana masih tabu dan mengidentikan penis dengan jempol lelaki sehingga bisa saja masih terjadi kehamilan karena penoton yang notabene orang desa menangkap kondom memang dipasangkan di jempol saja. Apalagi di Papua yang rawan HIV/AIDS sosialisasi sudah menembus batas tabu jika hanya sekadar penis dan vagina saja. Hehe
Sunday, July 26, 2015
Rahasia di Balik Sukses Mbok Sum, Penjual Gorengan Jawa di Papua
Sukses mungkin bagi sebagian orang dapat diartikan banyak harta atau dapat melakukan apa saja, namun bagi Mbok Sum, sukses lain artinya.
"Opo wae sing penting ikhlas njalanin"
Mbok Sum yang Sederhana
Kesederhanaannya mungkin sama seperti ucapan arti kesuksanannya. Menjalani segala sesuatunya dengan ikhlas. Pertama kali saya bertemu di sebuah gerobag gorengan yang cukup terkenal di kota Timika. Sudah beberapa kali rekan saya meyarankan untuk membeli gorengan di depan supermarket sederhana itu namun baru beberapa hari kemarin saya benar-benar membelinya sendiri. Biasanya saya selalu titip teman atau menunggu orang lain datang membawa gorengan khas ini. Ternyata ada hikmahnya, saat itulah saya bertemu Mbok Sum. Sebenernya wanita yang kemungkinan besar berusia lebih dari 70 tahun ini lebih pantas dipanggil mbah atau oma namun karena cucunya pun sudah terbiasa dengan panggilan mbok maka sayapun ikutan memanggilnya Mbok Sum.
Deretan giginya yang hitam karena mengunyah sirih pinang ternyata masih memuat deretan itu kokoh tidak ompok layaknya rekan seusianya. Karena cukup lama menunggu pisang baru masuk ke wajan panas maka ada setengah jam lebih saya mendengarkan kisahnya.
Saturday, July 25, 2015
Hati-hati Jangan Suapi Bayi Pisang
Saya mengingat kembali serpihan pengalaman ketika menjadi dokter Pencerah Nusantara di Desa Tosari Bromo. Artikel ini pertama kali diterbitkan di sini.
Kali ini perjalanan saya kembali menyusuri sebuah dusun terpencil yang hanya memiliki 21 bangunan rumah saja. Dengan jalan yang berlubang parah karena pengaruh hujan juga dilewati berbagai truk pengangkut kentang, akhirnya saya sampai di dusun tersebut. Hal pertama yang saya rasakan ketika menyentuh jari-jari mungil para balita disana adalah miris. Jumlah balitanya dapat dihitung dengan jari apalagi jumlah anak yang bersekolah di tingkat SD, tidak pernah lebih dari lima setiap tahunnya.
Ini hampir mirip dengan kisah Laskar Pelangi dimana guru mencari murid namun saya rasa ini lebih parah. Bapak Ketua RT menjelaskan kepada saya total jumlah murid di sebuah SD yang jaraknya setengah jam jalan kaki dari dusun tersebut totalnya tidak lebih dari 25 anak. Itupun ujarnya sudah digabung dengan dusun tetangga yang jaraknya setengah jam juga bersimpangan dengan dusun si Pak RT. Terkadang setiap kelas hanya diisi oleh satu hingga dua murid karena kemampuan akademik yang kurang sehingga tidak jarang muridnya harus mengulang kelas kembali. Namun hebatnya, jumlah personel guru yang ada 10 di sekolah tersebut tetap bersemangat mengajar hingga sekolah tersebut usianya 10 tahun lebih. Bahkan walau para guru harus datang dari desa lain yang jaraknya berjam-jam pun tetap mereka datang mengajar.
Masa Depan Anak Indonesia
Saya kembali menghela napas, melihat anak-anak SD melangkahkan kaki dengan taruhan mereka belum tentu dapat melanjutkan pendidikannya di bagku SMP apalagi SMA. Pasalnya, keseharian orang tua yang bekerja sebagai petani terkadang mengharapkan bantuan anaknya sehingga hanya beberapa anak saja yang melanjutkan ke tingkat SMP. Bagaimanapun investasi pendidikan masih sulit dilihat hasilnya dan dianggap sudah cukup jika anak dapat membaca dan menulis saja. Padahal anak masih membutuhkan lebih banyak pengalaman belajar tidak hanya bisa membaca dan menulis saja.
Dan ketika saya memasuki rumah per rumah untuk memeriksa keluarga, saya makin miris karena melihat bayi berumur baru tiga bulan tertidur karena disuapi pisang. Si ibu yang usianya saya duga masih belum mencapai 20 tahun tersebut terlihat menggendong bayinya walaupun asap perapian dari dapur ada dimana-mana. Saya yang sudah dewasa saja merasa mata memerih terkena asap tapi tampaknya si ibu berpikiran lain atau mungkin sudah terbiasa dan si bayi pun mengikuti si ibu, terbiasa menghirup asap.
Dan mau tidak mau keluarga lainnya mengambilkan pisang yang masih ada di dapur dan membuat saya terbelak.
Panjang pisang yang keseharian menjadi makanan si bayi tersebut sama seperti pisang ambon besar.
Kali ini perjalanan saya kembali menyusuri sebuah dusun terpencil yang hanya memiliki 21 bangunan rumah saja. Dengan jalan yang berlubang parah karena pengaruh hujan juga dilewati berbagai truk pengangkut kentang, akhirnya saya sampai di dusun tersebut. Hal pertama yang saya rasakan ketika menyentuh jari-jari mungil para balita disana adalah miris. Jumlah balitanya dapat dihitung dengan jari apalagi jumlah anak yang bersekolah di tingkat SD, tidak pernah lebih dari lima setiap tahunnya.
Ini hampir mirip dengan kisah Laskar Pelangi dimana guru mencari murid namun saya rasa ini lebih parah. Bapak Ketua RT menjelaskan kepada saya total jumlah murid di sebuah SD yang jaraknya setengah jam jalan kaki dari dusun tersebut totalnya tidak lebih dari 25 anak. Itupun ujarnya sudah digabung dengan dusun tetangga yang jaraknya setengah jam juga bersimpangan dengan dusun si Pak RT. Terkadang setiap kelas hanya diisi oleh satu hingga dua murid karena kemampuan akademik yang kurang sehingga tidak jarang muridnya harus mengulang kelas kembali. Namun hebatnya, jumlah personel guru yang ada 10 di sekolah tersebut tetap bersemangat mengajar hingga sekolah tersebut usianya 10 tahun lebih. Bahkan walau para guru harus datang dari desa lain yang jaraknya berjam-jam pun tetap mereka datang mengajar.
Masa Depan Anak Indonesia
Saya kembali menghela napas, melihat anak-anak SD melangkahkan kaki dengan taruhan mereka belum tentu dapat melanjutkan pendidikannya di bagku SMP apalagi SMA. Pasalnya, keseharian orang tua yang bekerja sebagai petani terkadang mengharapkan bantuan anaknya sehingga hanya beberapa anak saja yang melanjutkan ke tingkat SMP. Bagaimanapun investasi pendidikan masih sulit dilihat hasilnya dan dianggap sudah cukup jika anak dapat membaca dan menulis saja. Padahal anak masih membutuhkan lebih banyak pengalaman belajar tidak hanya bisa membaca dan menulis saja.
Dan ketika saya memasuki rumah per rumah untuk memeriksa keluarga, saya makin miris karena melihat bayi berumur baru tiga bulan tertidur karena disuapi pisang. Si ibu yang usianya saya duga masih belum mencapai 20 tahun tersebut terlihat menggendong bayinya walaupun asap perapian dari dapur ada dimana-mana. Saya yang sudah dewasa saja merasa mata memerih terkena asap tapi tampaknya si ibu berpikiran lain atau mungkin sudah terbiasa dan si bayi pun mengikuti si ibu, terbiasa menghirup asap.
"Ibu...hayoh disuapi pisang apa itu?Kecil apa besar?" seperti kepergok namun si ibu hanya senyum-senyum.
"Kecil bu..."
"Ayo saya lihat kayak apa pisangnya"
Dan mau tidak mau keluarga lainnya mengambilkan pisang yang masih ada di dapur dan membuat saya terbelak.
Panjang pisang yang keseharian menjadi makanan si bayi tersebut sama seperti pisang ambon besar.
"Weleeh...katanya kecil. Kalau ini mah besar ibu....Berapa banyak dedek bisa habisin pisangnya?" dan kali ini si nenek yang menjawab lancar.Menangkap basah kejadian seperti ini membuat saya ingin menangis. Baru kali ini saya melihat sendiri bayi yang seharinya dapat menghabiskan tiga butir pisang besar. Bagaimana anak-anak Indonesia mau jadi pintar kalau ibu-ibunya saja belum pintar. Saya tidak menyalahkan si ibu karena tentunya adat serta kebiasaan menjadi hal yang sulit untuk mulai diubah. "Kan kalau disini baru lahir memang harus disuapi pisang ibu. Malah kadang bayi yang baru lahir sudah bisa habis satu butir pisang" "Minum kopi juga?" "Ya kadang dikasih kopi supaya ndak kejang bu"
"Waah kalau dedek makannya banyak. Sehari tiga pisang aja kadang masih minta lagi. Nangis terus" dan saya hanya geleng-geleng.
Kopi dan pisang, dua momok penyebab meningkatnya angka kematian bayi
Tuesday, July 21, 2015
Berbagai Ketidaktelitian Adegan Ant Man
Saya pecinta film tapi jujur kali ini nonton Ant Man karena ketidaksengajaan saja. Mengingat padatnya aktivitas, saya biasanya tidak mengagendakan waktu khusus untuk pergi ke bioskop. Eh, pas ada Ant Man ini keluar di tiga hari pertama kok ya ndilalah saya sempet nonton duluan. So, jujur trailer yang cukup menggoda di Youtube menjadikan saya berpikir film ini akan sama dengan berbagai film besutan Marvel lainnya. Yah seperti laksananya superhero dari mulai Superman sampai Spiderman, saya tidak menaruh ekspektasi berlebihan ketika menonton Ant Man.
Pic dari sini
Pic dari sini
Monday, July 20, 2015
Bakmi Mbah Gito Manjakan Lidah dan Mata, Cocok Mengenang Romantisme Jadul
Lama tak bersua dengan blogger, kabar saya kali ini sudah berpindah dari pedalaman Papua menuju ke kota sejuta kenangan Katon Bagaskara, Yogyakarta. Kali ini saya akan tinggal di Yogyakarta dalam waktu lama untuk sekolah dokter spesialis anak. Nah, tidak pas rasanya jika tidak singgah berwisata kuliner di tempat-tempat “wajib”. Kali ini selagi masih dalam momen lebaran, saya bersama keluarga besar berkunjung ke Bakmi Mbah Gito.
Bakmi yang berada di Jalan Nyi Ageng Nis Kelurahan Rejowinangun ini berada tepat di sebelah barat eks kantor BPS, biasanya dari XT Square ke arah timur sampai mentok. Alamatnya mudah dicari jika sudah berada di Kotagede dan dipastikan orang sekitar Rejowinangun akan menunjukkan jalan jika anda nyasar. Karena memang lokasinya cukup “tersembunyi” dan tidak terlihat dari pinggir jalan.
Bakmi yang berada di Jalan Nyi Ageng Nis Kelurahan Rejowinangun ini berada tepat di sebelah barat eks kantor BPS, biasanya dari XT Square ke arah timur sampai mentok. Alamatnya mudah dicari jika sudah berada di Kotagede dan dipastikan orang sekitar Rejowinangun akan menunjukkan jalan jika anda nyasar. Karena memang lokasinya cukup “tersembunyi” dan tidak terlihat dari pinggir jalan.
Friday, July 17, 2015
Bu Dokter, Anak Saya Kena Bangka Babi
“Bu Dokter, anak saya kena bangka babi,” otomatis indera pendengaran saya melebar. Sudah lama sekali tidak mendengar bangka babi disebut sejak terakhir saya mengabdikan diri di pedalaman Pulau Sumba dan sekarang ketika di Papua saya mendengar lagi istilah yang sama.
“Bangka babi bagaimanakah Mama?” saya memastikan sambil meraba pipi anaknya yang membesar namun tidak kesakitan saat disentuh.
“Anak kecil ada jatuh lalu kena pipi dan sekarang jadi bangka besar seperti babi.” Otak saya mulai mencerna bangka babi ini sama tidak dengan istilah yang sering saya dengar di Sumba dulu. Si Mama menjelaskan lebih rinci ketika anaknya memang terjatuh dari pohon dan setelahnya bengkak lalu dan singkat cerita menjadi bangka babi.
“Baru sudah dibawa ke manakah Mama anak kecil?”
“Ke rumah sakit toh lalu lanjut obat su empat bulan,” dan sekarang saya mengerti. Ternyata ini bangka babi yang sama.
Berobat rutin itu wajib
Sunday, July 12, 2015
Ini Nih, 9 Gosip yang Kadang Bikin Kamu Minder Sebelum Berjuang Masuk Jurusan Kedokteran!
Setelah artikel 9 hal wajib yang harus kalian tahu jika pengen masuk jurusan kedokteran, sekarang Hipwee nelorin lagi neh sekuelnya. Gosip-gosip yang sering beredar luas ini jangan sampai deh bikin cita-cita kamu menjadi dokter PUPUS sebelum berjuang.
Pasalnya, untuk masuk menjadi mahasiswa kedokteran memang dibutuhkan mentalitas tinggi. Nah, sayangnya kadang mentalitas itu menyiut seiring dengan gencarnya gosip dengan berbagai bumbu penyedap.
Ibarat virus yang menggerogoti tubuh manusia, gosip ini gak jarang bikin kamu minder dan merasa gak layak jadi mahasiswa kedokteran. Padahal, sebenarnya kamu pintar dan mempunyai keunikan untuk menjadi dokter dan menyehatkan lebih banyak rakyat Indonesia. Merdeka!
1. Sekolah dokter itu mahal banget, mana sanggup deh bayarnya?
Pasalnya, untuk masuk menjadi mahasiswa kedokteran memang dibutuhkan mentalitas tinggi. Nah, sayangnya kadang mentalitas itu menyiut seiring dengan gencarnya gosip dengan berbagai bumbu penyedap.
Ibarat virus yang menggerogoti tubuh manusia, gosip ini gak jarang bikin kamu minder dan merasa gak layak jadi mahasiswa kedokteran. Padahal, sebenarnya kamu pintar dan mempunyai keunikan untuk menjadi dokter dan menyehatkan lebih banyak rakyat Indonesia. Merdeka!
1. Sekolah dokter itu mahal banget, mana sanggup deh bayarnya?
"Kaka, aku pengin banget jadi dokter tapi orang tuaku gak mampu, gimana caranya ya?"
Tips Jadi Dokter Spesialis lewat Beasiswa PPDS-LPDP
Sekolah di Program Pendidikan Dokter Spesialias atau biasa yang kita kenal sebagai PPDS boleh jadi masih menjadi incaran banyak dokter umum. Selain karena memfokuskan diri dalam minat yang berbeda-beda, PPDS seolah menjadi wadah pembelajaran kembali, bukti bahwa dunia kedokteran sebenarnya sangat luas dan dalam. Terkait suka dukanya masuk ke suatu PPDS tertentu di universitas tertentu bukan rahasia. Apalagi ternyata banyak faktor yang mempengaruhi kita diterima atau tidak mulai dari faktor otak, keluarga, link, dan tentu saja yang terakhir pembiayaan.
Nah terkait pembiayaan, selama ini hanya dibagi menjadi dua, swadaya alias bayar sendiri (bisa dibayarin orang tua/suami/istri atau hasil menabung selama bekerja tahunan) dan kemitraan (dibayari oleh suatu lembaga entah RS/Univ tempat kita bekerja atau lembaga beasiswa seperti Kemenkes). Kenapa terkait pembiayaan ini penting karena PPDS bukanlah program yang setahun dua tahun selesai. Ada tahun-tahun panjang dimana para penguji tidak ingin siswanya putus di tengah jalan lantaran kendala biaya. Jadi tidak jarang dalam wawancara PPDS akan ditanyakan terkait hal ini.
Tidak berpanjang lebar, saya ingin berbagi sedikit kisah tentang beasiswa Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP).
LPDP Jawaban Doa Panjang Saya
Jujur sudah lama saya berdoa agar LPDP membuka kuota khusus untuk sekolah dokter spesialis. Maklumlah beasiswa LPDP yang keren ini hanya membiayai S2-S3 baik dalam negeri maupun luar negeri dan juga tesis/disertasi. Setiap tahun walau bekerja di pedalaman, saya berusaha unutk update websitenya dan ternyata Tuhan mengabulkan doa saya. Hasil rutin membaca pengalaman rekan-rekan yang lolos LPDP walau bukan PPDS membuat saya makin bersemangat.
Nah terkait pembiayaan, selama ini hanya dibagi menjadi dua, swadaya alias bayar sendiri (bisa dibayarin orang tua/suami/istri atau hasil menabung selama bekerja tahunan) dan kemitraan (dibayari oleh suatu lembaga entah RS/Univ tempat kita bekerja atau lembaga beasiswa seperti Kemenkes). Kenapa terkait pembiayaan ini penting karena PPDS bukanlah program yang setahun dua tahun selesai. Ada tahun-tahun panjang dimana para penguji tidak ingin siswanya putus di tengah jalan lantaran kendala biaya. Jadi tidak jarang dalam wawancara PPDS akan ditanyakan terkait hal ini.
Tidak berpanjang lebar, saya ingin berbagi sedikit kisah tentang beasiswa Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP).
LPDP Jawaban Doa Panjang Saya
Jujur sudah lama saya berdoa agar LPDP membuka kuota khusus untuk sekolah dokter spesialis. Maklumlah beasiswa LPDP yang keren ini hanya membiayai S2-S3 baik dalam negeri maupun luar negeri dan juga tesis/disertasi. Setiap tahun walau bekerja di pedalaman, saya berusaha unutk update websitenya dan ternyata Tuhan mengabulkan doa saya. Hasil rutin membaca pengalaman rekan-rekan yang lolos LPDP walau bukan PPDS membuat saya makin bersemangat.
Tips Biar Lolos Masuk Fakultas Kedokteran
Saat mendekati detik-detik ujian masuk perguruan tinggi maka kotak email di jejaring sosial saya akan penuh dengan pertanyaan "Bagaiamana caranya masuk fakultas kedokteran?". Semakin tahun, pendaftar yang memilih fakultas kedokteran sebagai bidang studi bukannya semakin berkurang malah terus bertambah. Padahal gosip mahalnya biaya pendidikan kedokteran terus saja santer terdengar. Bukan hanya puluhan juta malah bahkan ada yang ratusan juta. Entah darimana gosip tersebut terus berkembang hingga muncul pemikiran tersendiri bahwa hanya orang kaya saja yang bisa masuk ke fakultas bergengsi tersebut.
Terlepas dari berbagai pemikiran di atas, kerap kali saya selalu menanyakan kembali kepada calon mahasiswa tersebut, "Kenapa ingin jadi dokter?". Pertanyaan sederhana yang membuat mereka berpikir bahwa menjadi dokter bukan sekadar gaya-gayaan masuk ke fakultas bergengsi atau sekadar membanggakan orang tua. Bukan itu. Menjadi dokter adalah panggilan jiwa yang tidak hanya membutuhkan hati yang bersih tetapi juga otak yang mumpuni. Menjadi dokter bukan sekadar sanggup membayar "uang masuk" namun juga harus kuat "isi otaknya" bersaing secara sehat dengan pelajar hebat lainnya.
Bahwa benar Indonesia hingga saat ini masih membutuhkan dokter karena total jumlah dokter hanya 110.000 dengan rasio 1:3.000 penduduk*. Namun bukan berarti 72 fakultas kedokteran yang ada di Indonesia harus selalu diserbu peminat hanya karena negeri kita masih butuh dokter. Apalah arti banyak fakultas kedokteran jika lulusan dokter terus berkurang mutunya karena "isi otak" yang kurang dibandingkan "isi dompet". Isi otak dan isi hati berperan penting dalam pembelajaran menjadi dokter yang handal karena perjalanan menjadi dokter bukan perjalanan singkat seperti fakultas lain. Wajar kiranya karena dokter berhadapan dengan manusia yang mempunyai hati juga. Kesembuhan tidak saja bergantung dari kepintaran seorang dokter tetapi ditunjang oleh etika dan tata krama seorang dokter menghadapi pasien. Dua hal inilah yang sekiranya perlu dipikirkan ulang oleh calon mahasiswa kedokteran.
Terlepas dari berbagai pemikiran di atas, kerap kali saya selalu menanyakan kembali kepada calon mahasiswa tersebut, "Kenapa ingin jadi dokter?". Pertanyaan sederhana yang membuat mereka berpikir bahwa menjadi dokter bukan sekadar gaya-gayaan masuk ke fakultas bergengsi atau sekadar membanggakan orang tua. Bukan itu. Menjadi dokter adalah panggilan jiwa yang tidak hanya membutuhkan hati yang bersih tetapi juga otak yang mumpuni. Menjadi dokter bukan sekadar sanggup membayar "uang masuk" namun juga harus kuat "isi otaknya" bersaing secara sehat dengan pelajar hebat lainnya.
Bahwa benar Indonesia hingga saat ini masih membutuhkan dokter karena total jumlah dokter hanya 110.000 dengan rasio 1:3.000 penduduk*. Namun bukan berarti 72 fakultas kedokteran yang ada di Indonesia harus selalu diserbu peminat hanya karena negeri kita masih butuh dokter. Apalah arti banyak fakultas kedokteran jika lulusan dokter terus berkurang mutunya karena "isi otak" yang kurang dibandingkan "isi dompet". Isi otak dan isi hati berperan penting dalam pembelajaran menjadi dokter yang handal karena perjalanan menjadi dokter bukan perjalanan singkat seperti fakultas lain. Wajar kiranya karena dokter berhadapan dengan manusia yang mempunyai hati juga. Kesembuhan tidak saja bergantung dari kepintaran seorang dokter tetapi ditunjang oleh etika dan tata krama seorang dokter menghadapi pasien. Dua hal inilah yang sekiranya perlu dipikirkan ulang oleh calon mahasiswa kedokteran.
Wednesday, July 8, 2015
Belajar Ngeblog Lagi kayak Bayi Belajar Ngrangkak
Baiklaaah sodara-sodara sebangsa setanah air. Setelah lama dari zaman multiply, friendster, facebook, kompasiana, hipwee, selasar, sampai balik lagi ke zaman wordpress...akhirnya saya mutusin pake blogspot sebagai akun pribadi. omegod...sebuah jalan panjang banget
Dulu pernah pake blogspot juga tuk akun novel anak yang judulnya Kisah Putri Aurora dan Kerajaan Winburg . Walo blog itu gak menampilkan semua kisahnya, tapi jujur saya ngaku dengan jujur kalo kunjungan ke blog itu ruar biasa page viewnya. Baiklah itu mungkin sebagian besar pencari nyasar ketika penasaran ketik Putri Aurora. Tuk yang satu ini jangan ditanya, memang gak niat nerbitin buku anak. Novelnya sebatas bacaan sendiri aja karena seinget saya novel ini ditulis pas zaman saya KOAS (omeeegoddd...7 tahun yang lalu) karena sekarang saya udah kuliah lagi jadi Residen Anak.
Nah blogspot kedua yang saya pake tuk novel Satu Dokter dan Tujuh Kurcaci Sumba yang sampai sekarang masih maju mundur mencari inang penerbitnya. Baiklah lebih tepatnya novel yang saya tulis dengan menggunakan pena dan kertas tanpa lampu ini menemani hidup saya setahun di Sumba tanpa air dan listrik sempurna. Jadi novel ini menyempurnakan hidup saya dan sampai detik ini (novel itu umurnya 4 tahun) saya masih merevisi. Okey, lebih tepatnya saya membutuhkan hari bertapa kembali untuk merombak total novelnya. Nanti...jika novel ini akhirnya siap dilahirkan, saya gak masalah kok pake jalur indie. Jadi kapan terbit? target tahun 2015 sebelum saya tidak bisa memegang keybord lagi karena kesibukan jadi residen anak.
Eit...belum cukup kalo cuma itu aja, ada lagi blog terkahir saya yang niatnya jadi tempat curhat dokter petualang yang udah menjelajah entah kemana aja. Dan seperti biasa, blognya penuh laba-laba alias saya konsen nulisnya cuma di kanal kompasiana aja.
Dan di sepanjang 2014 saya berusaha bikin blog dengan nama pribadi namun lagi-lagi karena kegaptekan saya maka saya beli domain trus gak bisa masangnya, ujung-ujungnya mubadzir. Tapi saya ketemu malaikat *bukanpencabutnyawa yang bantuin saya bangkit lagi tuk ngeblog di kanal pribadi. Thanks ya Mas Agus yang udah mau direpotin nanya A ampe Z. Bahkan semua pertanyaanya sederhana. Pasalnya ketiga blog saya dulu entah kenapa saya bisa masukin link blogroll temen, akun-akun sosmed, dkk tapi kali ini jujur SAYA LUPA.
Ya ampun...untungnya saya lupa cara ngeblog aja dan bukan lupa resep atau hal membahayakan tuk pasien yak. Tapi jujur saya ngrasa tiap hari saya kayak bayi yang mulai belajar lagi. Blogwalking jadi kebutuhan utama tuk belajar dari para blogger lain juga cara-cara yang sederhana di atas. Saya masih bingung gimana cara masukin dan menata blog ini tapi bismillaah...merangkak dulu.
Tuk teman-teman yang blognya sering saya kunjungi tapi jarang saya tinggalin jejak, sekarang saya akan resmi meninggalkan jejak pakai alamat rumah baru ini.
Silakan teman-teman menikmati apa yang ada di rumah saya. Ambil aja apapun itu, terserah.
Bipp....Bip.....
Baiklah sudah saatnya saya kembali sekolah
Love,
Avis
Wednesday, July 1, 2015
Dokter Anak yang Bagaimanakah?
Mendengar kata dokter anak pasti yang terbayang sosok dokter lucu, bersahaja, dan menggemaskan yang membuat anak-anak menjadi nyaman. Saya sendiri ketika mendengar dokter anak maka yang pertama kali ada di benak saya adalah sosok bersahaja yaitu para konsulen anak saya yang pernah saya temui di berbagai lokasi. Tidak hanya di kampus atau kota besar, saya bertemu banyak konsulen di pedalaman. Dari mereka saya belajar banyak bahwa ternyata menjadi dokter anak membutuhkan tanggung jawab besar.
Dulu awalnya saya berpikir karena saya suka berinteraksi dengan anak-anak, maka mungkin saya bisa jadi dokter anak. Tapi ternyata suka dan senang saja tidak cukup. Butuh belajar super keras dan disiplin di dalamnya. Bahkan ketika sudah menjadi konsulen anak sekalipun ternyata proses belajar itu masih berlanjut.
Dulu awalnya saya berpikir karena saya suka berinteraksi dengan anak-anak, maka mungkin saya bisa jadi dokter anak. Tapi ternyata suka dan senang saja tidak cukup. Butuh belajar super keras dan disiplin di dalamnya. Bahkan ketika sudah menjadi konsulen anak sekalipun ternyata proses belajar itu masih berlanjut.
Subscribe to:
Posts (Atom)